Konflik Iran-AS: Rugikan China, Beranikan Korea Utara

Konflik Iran-AS: Rugikan China, Beranikan Korea Utara

Wartariau.com Ketegangan antara Amerika Serikat dan Iran ternyata bisa memengaruhi China dan Korea Utara. Dua negara yang juga punya perselisihan dengan AS, khususnya Presiden Donald Trump.

Dalam artikel berjudul "What do tense US-Iranian relations mean for China, North Korea? (Apa arti ketegangan hubungan AS-Iran terhadap China, Korea Utara?" yang dimuat Al Jazeera pada Selasa (14/1), dijelaskan bahwa ketegangan kedua negara ini punya dampak yang cukup besar bagi China dan Korut.

Bagi China, tentu hubungan tidak baik ini akan merugikan dari segi ekonomi. Pasalnya, ketegangan AS-Iran akan meningkatkan risiko ketidakstabilan di Timur Tengah di mana China adalah konsumen minyak terbesar di wilayah Teluk.

Sejak Oktober, China telah mengimpor 100 ribu barel minyak per hari dari Arab Saudi dan Irak. Tak hanya itu, China juga merupakan pembeli terbesar minyak mentah Iran. Bahkan meski AS memberlakukan sanksi, China tetap cuek melanggar sanksi dengan mengimpor minyak mentah dari Iran.

"China ingin menghindari ketegangan lebih lanjut dalam hubungannya dengan AS. Karena memastikan stabilitas regional dan mengakhiri perang dagang saat ini adalah prioritas kebijakan luar negeri," ujar seorang analis senior Verisk Maplecroft di Singapura, Kaho Yu.

Seperti yang dikatakan Yu, ketegangan dengan Iran juga bisa memengaruhi kesepakatan dagang antara AS dan China. Di mana AS akan menggunakan pelanggaran sanksi China untuk menekan kesepakatan.

Besarnya pengaruh ketegangan Iran dan AS terhadap China juga dibuktikan dengan editorial surat kabar pemerintah China, Global Times pada Rabu (8/1). Global Times menuding Trump menggunakan krisis Iran untuk melukai ekonomi China.

"Konflik AS-Iran cocok dengan taktik ini, karena China memiliki ketergantungan yang besar dan semakin besar kepada energi dari Iran dan negara-negara Timur Tengah lainnya," tulis surat kabar tersebut.

Berbeda dengan China, pengaruh terhadap Korea Utara lebih politis. Menurut para ahli strategi, pembunuhan terhadap jenderal top Iran, Qassem Soleimani oleh AS justru akan memicu keberanian Korea Utara.

Jika dilihat ke belakang, keberanian Korut untuk meningkatkan serangkaian uji coba rudalnya bertepatan dengan putusan AS keluar dari perjanjian nuklir Iran (JCPOA 2015) pada 2018. Kematian Soleimani pun diperkirakan akan semakin mendorong Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, untuk mengembangkan senjata strategisnya.

"AS membunuh pimpinan utama Iran (yang) dapat menyebabkan Pyongyang memikirkan kembali skala provokasi berikutnya," ujar profesor Universitas Ewha, Leif-Eric Easley.

"Pyongyang mungkin sekarang mempertimbangkan kasus Iran untuk membenarkan penolakan denuklirisasi dan meningkatkan penangkal strategis," lanjutnya.

Hal yang sama juga dikatakan oleh seorang ahli Korea dari SinoNK, Anthony Rinna. Menurutnya, peningkatan ketegangan antara Iran-AS saat ini membuat negara-negara lain melihat Korea Utara semakin kurang mempercayai niat baik AS. 
TERKAIT